JAKARTA, FAKTANASIONAL.NET – Jika kebijakan Donald Trump yang berencana menerapkan tarif impor 100% terhadap negara-negara anggota BRICS benar-benar diterapkan, maka Indonesia sebagai anggota baru BRICS berpotensi terdampak secara signifikan.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Peneliti Next Policy, Muhammad Ibnu dalam diskusi di Rumah Wijaya, Jakarta Selatan, kemarin. Diskusi tersebut membahas kerentanan industri lokal di tengah dinamika global yang semakin kompleks.
Dalam diskusi tersebut Muhammad Ibnu mengingatkan bahwa kebijakan tarif impor 100% yang akan diberlakukan AS terhadap negara-negara BRICS harus menjadi perhatian serius.
“Kebijakan ini dapat menyebabkan oversupply di negara-negara BRICS, yang pada akhirnya bisa menjadikan Indonesia sebagai ‘pasar pembuangan’ bagi negara-negara dengan industri yang lebih matang,” kata Ibnu dalam rilis yang dipublikasikan Lembaga kajian Next Policy, Selasa (11/2/2025).
Ibnu mempertanyakan relevansi dan urgensi keanggotaan Indonesia dalam BRICS. Hingga saat ini, pemerintah belum memberikan alasan yang jelas selain narasi politik bebas aktif dan diversifikasi mitra strategis. Padahal, situasi ekonomi domestik sedang tidak baik-baik saja.
“Sejak 2024, konsumsi rumah tangga terus melemah, terjadi deflasi selama lima bulan berturut-turut, dan tingkat penyerapan tenaga kerja dalam kategori buruh/pegawai masih di bawah 40,7%, angka yang pernah dicapai sebelum pandemi 2019,” ungkapnya.
“Selain itu, pemangkasan belanja pemerintah yang belakangan ramai diperbincangkan menambah tekanan terhadap perekonomian nasional,” tambah Ibnu.
Lebih lanjut, Ibnu menyoroti tren perlambatan pertumbuhan industri pengolahan yang terus menurun dalam tiga tahun terakhir: 4,89% (2022), 4,64% (2023), dan 4,43% (2024).
Sebagai sektor utama dalam PDB industri manufaktur, idealnya pertumbuhan industri pengolahan harus berada di atas 5% agar sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Indonesia belum bertransformasi menjadi negara industri, tetapi kontribusi sektor industri justru menyusut. Ini memperkuat indikasi deindustrialisasi dini yang semakin nyata,” tambahnya.
Diskusi ini menegaskan bahwa pasca 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, dibutuhkan strategi kebijakan industri yang lebih jelas, konsisten, dan berpihak pada pertumbuhan industri lokal.
“Indonesia harus memanfaatkan keanggotaan BRICS untuk memperkuat rantai nilai industri global, bukan sekadar menjadi pasar bagi negara lain,” kata Ibnu.
Menurut Ibnu di tengah tren penurunan daya beli masyarakat, peningkatan daya saing industri lokal tidak akan terjadi secara otomatis. Dibutuhkan dukungan nyata dari pemerintah melalui kebijakan yang tepat, infrastruktur yang memadai, serta investasi dalam riset dan inovasi.
“Jika tidak, keanggotaan Indonesia di BRICS justru bisa menjadi beban yang memperlemah sektor industri nasional, alih-alih memperkuatnya,” tutup Ibnu.[zul]